Selasa, April 10, 2012

Enggan Menulis Karena Khawatir Hasilnya Tak Sempurna?

Ada orang yang enggan menulis hanya karena rasa khawatir. Ia khawatir kalau artikel yang dihasilkannya bakal tidak sempurna. Dia membayangkan betapa ia akan merasa sangat malu kalau ketahuan bahwa dirinya tak bisa diandalkan. Apa yang akan dikatakannya kepada para sahabat kalau ternyata artikelnya ditolak redaksi? Di mana ditaruh mukanya kalau ternyata artikelnya jelek?

Dia sesungguhnya orang yang sangat berpendidikan, memiliki ilmu lebih dari cukup untuk dibagikan. Tapi, karena dibayangi kekhawatiran seperti tadi, maka dia putuskan untuk menghindari ajakan menulis di media massa. Orang seperti ini nyata ada, bukan mengada-ada.

Manusia tak ada yang sempurna. Hanya Sang Pencipta yang sempurna. Karena manusia sendiri tak sempurna, maka hasil karyanya pun tentu ada cacat-celanya. Seharusnya, manusia tak perlu khawatir dengan ketidaksempurnaan yang melekat pada dirinya. Ia tak sendiri! Semua manusia memiliki ketidaksempurnaan itu.

Dalam hal berkarya, yang terpenting adalah berusaha untuk menghasilkan sebuah karya yang terbaik yang kita bisa, bukan berharap karya yang sempurna. Karya yang terbaik adalah karya yang dikerjakan secara total dengan sumber daya yang ada. Walau hasilnya jauh dari sempurna, tak mengapa. Yang penting, sudah dikerjakan sebaik mungkin, tidak setengah-setengah atau sekadar membuat. Seyogianya itulah prinsip yang kita pegang dalam menulis, bahkan dalam mengerjakan tugas apapun dalam kehidupan ini.

Adalah hal yang normal dan wajar kalau sebuah karya memiliki kekurangan di sana-sini. Walau pun sebuah artikel sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya, tapi tetap saja masih ada kekurangannya. Tulisan saya ini dan tulisan-tulisan saya sebelumnya jauh dari sempurna. Kalau tidak analisisnya dangkal, pasti referensinya kurang. Kalau tidak referensinya kurang, pasti sepi dari data pendukung. Kalau tidak sepi dari data pendukung, pasti ada saja kesalahan ketik. Sejatinya, saya sudah berusaha menyusun dengan kemampuan yang ada, tapi begitu dipublikasikan, eh, ternyata masih juga ada beberapa kesalahan dan kekurangan.

Kalau demikian halnya, mengapa menolak berkarya hanya karena khawatir hasilnya nggak baik? Takut diledek teman, takut dicemooh, takut dicibir, ditolak atau sejenisnya!? Daripada membiarkan diri diliputi kekhawatiran yang tak masuk akal semacam itu, lebih baik segera saja menulis. Menulis dengan sebaik-baiknya dan mengirimkannya ke koran, majalah, atau ke media lain. Melakukannya dengan ringan dan lepas. Tidak lagi menjadikannya beban, sehingga bisa merasakan getar pesonanya saat menjalani prosesnya.

Selamat menulis.

( I Ketut Suweca , 27 Desember 2011).

http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/27/enggan-menulis-karena-khawatir-hasilnya-tak-sempurna/

Sabtu, April 07, 2012

(Fiksimini) Suara Itu Menakutiku

(Fiksimini) Suara Itu Menakutiku

Suara-suara itu menakutiku. Aku tak berkutik memejam mata. Kepala pening tiap beban atau hal berat masuk dalam kepala ini.

Suara-suara itu masih suka mengusik keheningan malamku. Aku semakin takut.Berat rasanya menahan beban. Darimana suara itu bermuncul? Ah tidak begini kau memperdayaiku. Pergi sajalah, jangan ganggu aku.

Suara itu datang kembali. Disuatu malam. Siap menerkamku. Menelan bayang-bayangku. Perlahan. Kemudian melahap seluruh tubuhku.

"Dimana dirimu Tuhan?"

Jakal KM 14 Jogjakarta, 07 April 2012

Kamis, April 05, 2012

060412

060412

hurufhuruf berserakan
di kepalaku
bertumbuh konak
yang menggelinjang
diatas genteng
kemudian tibatiba hujan turun
menyeret kebawah, membentuk danau besar
di kota yang kumuh

Jakal KM 14 Jogjakarta, 06 April 2012

*) Ekohm Abiyasa

Dirimu Satu

Dirimu Satu

dirimu satu
sebab itu aku tak mampu
menjadi seperti yang kau mau

dirimu satu
sebab itu aku berharap
hanya yang bertangan kuat saja yang bertahan
memapah duka dan tawamu

Jakal KM 14 Jogjakarta, 06 April 2012

*) Ekohm Abiyasa

"Yang Merindukan Adinda"

"Yang Merindukan Adinda"

memikirkan senyummu membuat mataku rabun
memiliki senyummu membuat diri bingung

sebab apa aku tak tahu

bolehkah aku meminjam cintamu sejenak saja
ketika bara api datang diujung hari
aku berlindung dibalik panasnya
dan harihari terasa sulit kulalui

seekor burung elang memagut bayangmu
aku halau
tapi rinduku patah
rindu yang bersemayam cukup lama
apa kau tahu itu? aku bingung

kenapa musim cepat berlalu
sedang kita hanya berilusi saja
cinta didunia maya, alam maya
bilakah aku harus memungut sisasisa cinta dan rindu sendirian
sebab telah kau dapatkan yang kau inginkan
aku sih tidak hirau semua itu
aku cukup berpuas saja
sebab cinta memang tidak harus saling memiliki
yang kuingin senyummu tetap ada
dan kita saling mengayunkan katakata dalam kolong langit
melemparkan beribuibu huruf
dan memikul sunyi bersama
itu saja

aku tidak bertanam terlalu harap
pada tunas yang tumbuh menjadi buah dan akar yang kuat
hidup hanya rebah
sebentar dia akan berganti topeng dan warna

udara malam ini terlalu sengat
mempunyai arti ada kekecewaan disana
kalau saja aku hanyalah garam yang terbuang atau seekor lalat
yang hanya menjadi sampah atau penghias mata

sebentar, aku hanya ingin senyum itu tetap ada
maukah kamu memaafkan kelancangan dan gurauan yang menusuk
ah tidak perlu kiranya
kukira hatimu juga tahu, hatiku hatimu
adalah satu

aduh, kepala pening
hentikan omong kosong ini
aku ingin beranjak pada malam paling hening
menabur garam diatas perih
yang kudengar, sesuara lembut memanggilmanggil namaku dan katakata romantik
duh, jiwa terbawa arus kebawah
dibawa bayang jahat pulang ke kandang
habitat manusia kerdil dan jinjin bersemayam

yang kudengar lagi, sesuara mengigau sepertinya
sebuah nama, sebuah rindu yang akut
ada tangan mengukir namanya pula

aku pinjam belati
aku ingin juga menamai batu itu, Sentayu
dalamdalam
semerbak wangi bunga melati
dan darahku menjadi tali yang mengikat pintupintu rindu
dibalik batu itu tertanda "Yang Merindukan Adinda"

Jakal KM 14 Jogjakarta, 06 April 2012
Tepat habis jam 12 malam

*) Ekohm Abiyasa

Selasa, April 03, 2012

(Cerpen) Kisah Tukang Sol

(Cerpen) Kisah Tukang Sol


Hari kian gelap saja. Senja telah habis meninggalkan pecintanya.

Seorang bapak memarkirkan sepeda onthel di halaman masjid. Sepedanya penuh muatan. Ada payung yang bersandar. Mungkin buat jaga-jaga kalau hujan. Ada benang-benang yang terurai. Sepatu dan sendal tertata dalam kotak box dibelakang sepeda.

"Assalamu'alaikum Mas". Sapanya lirih dan sejuk. Sembari tersenyum beliau menjulurkan tangan menyalamiku.
"Wa'alaikumsalam Pak".
"Mau istirahat dulu mas disini. Boleh kan Mas?"
"Boleh, boleh Pak silakan. Mari cari tempat yang enak dan nyaman Pak".

Kami mencari tempat yang nyaman buat bercengkerama. Beliau memperkenalkan diri, pak Rahmat namanya. Kami bercakap-cakap.Beliau seorang tukang jahit sepatu dan sendal. Tapi beliau juga menerima perbaikan barang-barang lainnya, payung yang rusak dan peralatan dapur lainnya. Orang-orang lebih suka memanggil tukang sol. Dia mampir di mesjid buat melepas lelah. Wajahnya kelihatan tua, meski ku taksir usianya 45 tahunan. Dia sungguh sederhana.

Kulihat raut wajahnya kliatan tenang. Serasa tanpa beban begitu. Sabar menerima apa adanya. Kami berkenalan, kemudian kian hangat obrolan kami. Dia berasal dari keluarga orang berada sebenarnya. Namun entah kenapa dia milih jalan seperti ini. Beliau juga berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya seorang TNI. Sikap yang disiplin dan keras dari sang Ayah membuatnya tak tahan. Ia pun memilih jalan sendiri, keluar dari rumah mencari makna hidup. Sekian waktu berlalu tak mengira jadi seperti itu. Tragedi hidup manusia berbeda-beda. Ada yang mujur ada yang terbujur. Ada yang sukses ada yang masih dalam proses. Semua tergantung individunya masing-masing, saya kira. Pun juga tidak mengabaikan takdir atau kuasa Tuhan. Yang kutahu bapak ini tegar sekali menjalaninya. Seolah hidup ini terasa nikmatnya.

Datang seorang ibu yang ingin menjahitkan sepatu anaknya yang robek. Sepatu anaknya buat sekolah esok harinya. Senyum selalu terkembang. Tak ada rasa sedih atau menelan penderitaan kulihat. Melayani dengan hati betul.

"Ini Buk, sudah selesai semua".
"Berapa Pak ongkosnya?".
"Terserah Ibu saja. Saya ikhlas menerimanya".

Si ibu merogok kantong bajunya. Ada selembar uang sepuluh ribu dan langsung begitu saja diserahkan kepada bapak tukang sol. Niatnya mau ngasihkan kembalian tapi si ibu menolaknya. Yah, sudah rejeki ga akan kemana batinku. Si ibu senang, sang anak pun riang.

"Terima kasih banyak, semoga lancar segala urusan Ibu".
"Sama-sama Pak, semoga juga lancar usaha Bapak".

Beliau melanjutkan ceritanya. Pak Rahmat sudah memiliki istri dan seorang anak. Pak Rahmat sendiri pergi mencari nafkah berhari-hari ke beberapa daerah.

"Oh jadi istri dan anak bapak ditinggalkan begitu?".
"Iya Mas".
"Biasanya berapa lama bapak pulang kerumah?".
"Ya ga pasti mas, kadang 7 hari kadang 10 hari. Paling lama sebulan baru pulang kerumah".
"Wah!".
"Apa bapak ga kasihan sama istri dan anak Bapak?".
"Ya gimana lagi Mas, sudah begini ya jalani saja".

Beliau tinggalkan keluarganya demi mencari nafkah. Untuk beberapa hari ia tinggalkan anak dan istrinya. Sudah terkummpul uang barulah ia pulang melepas rindu. Sungguh terharu aku mendengarkan kisahnya. Berasa nonton sinetron di televisi. Selain menontonkan glamour kehidupan, si kaya dan si miskin, pergaulan di kota-kota besar juga menampilkan potret kisah kehidupan manusia pinggiran. Sama seperti yang aku jumpai didepanku ini. Ini kisah nyata, real!. Betapa masih banyak orang yang kesulitan mencari segenggam beras. Harus rela mengorbankan waktu buat keluarga.

* * *

Agaknya malam ini ada segurat wajah rindu. Tergurat dalam dahi dan kerutan wajah pak Rahmat.

Beliau mengeluarkan bekal nasi yang dibungkus kertas plastik. Ala kadarnya, sungguh sederhana banget. Cuman nasi dan beberapa lauk tempe kering dan serundeng. Beliau makan dengan pelan. Sedikit sekali ia makannya. Nasi sengaja tidak dihabiskan buat bekal esok hari katanya. Duh aku terkejut dan terheran saja dibuatnya. Ada saja di dunia orang seperti pak Rahmat ini. Aku semakin heran dengan liku-liku kehidupan manusia. Andai saja itu adalah aku, bagaimana bisa aku harus merasakan pahit getir seperti yang pak Rahmat rasakan. Berkaca dari kisah pak Rahmat ini, aku masih bisa bersyukur diberi kemudahan dalam urusan rejeki.

"Ya Allah, mudahkanlah urusan pak Rahmat ini. Lancarkan rejekinya. Barokahilah Ya Allah". Dalam hati berdoa. Air mataku jatuh. Kupalingkan muka buat menyekanya.

"Ini pak ada air putih". Kusodorkan gelas dan porong berisi air putih.
Kuperhatikan seksama cara ia bertutur kata dan cara makannya. Sepeda dengan seabrek peralatan yang menempel dibelakang memenuhi kotak kepalaku. Senyum manis selalu terpancar. Menatap hari esok dengan segumpal harapan.

Berharap dapat suatu pelajaran darinya.

Malam telah menyeret kami beradu dingin. Pukul 9 malam yang tertera pada jam dinding. Kami masih asyik betukar pikiran. Bercerita mengenai diri masing-masing.

"Terima kasih banyak Mas sudah membantu saya".
"Membantu apa to Pak. Biasa saja kok. Bukankah kita memang harus saling tolong menolong Pak?".
"Iya Mas, betul. Tapi saya malah jadi merepotkan Mas".
"Udah malem ni Mas. Mari istirahat dahulu. Biar besok saya bisa cari rejeki lagi".
"Iya Pak, mari Pak".

Kupersilakan saja pak Rahmat masuk dalam mesjid. Kami menjemput mimpi masing-masing.

Jakal KM 14 Jogjakarta, 03 April 2012

*) Ekohm Abiyasa

Ini adalah sepenggal kisah nyata dari pertemuanku dengan sorang tukang sol sepatu. Aku lupa namanya juga daerah ia berasal. Seingatku dia berasal dari daerah Jawa Barat dan istrinya orang Sragen, Solo. Ingat pula tentang pengalaman dia berkelana dari rumah, mengembara mencari yang ia mau. Pernah akrab dengan kekerasan/preman. Pernah akrab pula dengan dunia santri. Itu yang kuingat tentang kisah seorang tukang sol. Dan saya rasa tidak sepenuhnya benar. Karena aku benar-benar lupa kejadian yang sebenernya.

Poto diambil dari mas cawah.

Senin, April 02, 2012

Bualan Para Pembelot

Bualan Para Pembelot

sekerlip malam telah pergi
tiba saatnya berpulang
pada jalanjalan terang
menghilang bersama tautan sinar mentari
berjalan lagi
instropeksi diri
mengulam hari berdikari
terik di siang
membakar kulit
berdiri makin terkapar
ikanikan yang lapar
menjulur lidah pembelot
melihat tontonan sampah para elit yang berunding alot
petang terbentang
dibelantara depan

melangkah lagi, dipenghujung hari yang tiada berkesampaian
setiup lilin membakar diri
serupa air menempa bebatuan
lamalama mati sendiri
tenggelam lagi diruang sunyi tempat merayakan kemunafikan
dan sehelai kain yang menempel, membuncah birahi para pembelot
ia meyakini kebeneran diri
sedang diluar sana ada lebih banyak kepala menempel pendapat masingmasing
mengotot dan melotot
mempertahankan eksistensi
suarasuara gaduh
membungkam relung kita, kapan sandiwara ini berakhir?

Jakal KM 14 Jogjakarta, 03 April 2012

*) Ekohm Abiyasa